Lauhul
Mahfuz jika secara harfiah diterjemahkan sebagai tablet/lempengan/kitab yang
terpelihara. Namun secara istilah, Lauhul Mahfuz adalah kitab yang berisi
seluruh kejadian di alam semesta mulai dari permulaan zaman sampai akhir zaman.
Mengenai darimana asal kata Lauhul Mahfuz sendiri di dalam Al-Qur’an disebutkan
secara eksplisit di dalam surat Al-Buruuj (surah 85) ayat 22 yaitu Lauhim-Mahfuz,
sedangkan di ayat-ayat lainnya, Lauhul Mahfuz disebutkan sebagai Kitab,
Ummul-Kitab, Kitabim-Mubiin, Kitabim-Maknuun, dan Az-Zikr. Adapun bagaimana bentuk
dan isi dari Lauhul Mahfuz sendiri hanya Allah yang tahu. Saya di sini
hanya mengemukakan ijtihad atau pandangan saya tentang konsep takdir dan Lauhul
Mahfuz.
Takdir,
sesuai pelajaran yang saya dapat dari SD sampai SMK, terbagi menjadi dua, yaitu
takdir mubram dan takdir mu’allaq. Takdir mubram adalah takdir yang tidak bisa
diubah, sifatnya itu absolut, contohnya pergerakan matahari dan bulan,
bernafasnya manusia dengan menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida,
dan sebagainya. Sedangkan takdir mu’allaq adalah takdir yang bisa diubah,
sifatnya relatif, contohnya kekayaan, kecerdasan, dan lain-lain.
Takdir
juga bisa dipandang dari waktunya, yaitu apa yang disebutkan dalam rukun iman
keenam: Beriman kepada Qada’ dan Qadar. Qada adalah sesuatu yang sudah
ditetapkan dari awal penciptaan alam semesta, sedangkan Qadar adalah sesuatu
yang sudah terjadi.
Lauhul
Mahfuz is not A Story-Line
Pernah
suatu ketika saya menyimak sebuah diskusi tentang takdir dan Lauhul Mahfuz. Ada
yang berpendapat bahwa takdir adalah suatu skenario atau jalan cerita yang
sudah ditetapkan oleh Allah dan tidak bisa diubah lagi, skenario tersebut ada
di dalam kitab yang bernama Lauhul Mahfuz.
Dari
situ timbul pertanyaan dalam benak saya, jika semua yang terjadi dalam hidup
ini adalah sebuah jalan cerita yang sudah ditentukan alurnya, untuk apa manusia
berusaha? Lebih jelasnya lagi, mengapa Allah menyuruh kita untuk mengubah
takdir kita sendiri? Toh nantinya hasilnya sama saja, sesuai dengan apa yang
ditentukan oleh Allah. Tapi kenyataannya apa yang terjadi dalam hidup ini
bukanlah seperti itu.
Setelah
saya membaca dan belajar lebih jauh tentang hal itu, akhirnya saya menemukan
sebuah gambaran yang tepat dan mudah untuk menjelaskan konsep takdir dan Lauhul
Mahfuz. Lauhul Mahfuz bukanlah sebuah jalan cerita, melainkan berisi
formula-formula atau rumus-rumus yang Allah tetapkan sebagai hukum alam.
Terkait
dengan dua jenis takdir yang sebelumnya saya paparkan, yakni takdir mubram
(absolut) dan takdir mu’allaq (relatif), saya akan menjelaskannya dengan
pelajaran matematika tentang persamaan 2 takdir tersebut.
Takdir
mubram yang sifatnya absolut dapat saya analogikan dengan persamaan A=2. Nilai
A tidak dapat diubah meskipun kita berusaha sekeras apapun, tetap saja nilai
A=2. Takdir mubram inilah yang hampir mirip dengan sebuah alur cerita, namun
tetap saja Allah bisa berkehendak untuk mengubahnya.
Sedangkan
takdir mu’allaq yang sifatnya relatif, dapat saya analogikan dengan persamaan
A=2B+1. Nilai A dapat kita ubah dengan cara bekerja keras.
- Jika usaha kita (dilambangkan dengan B) bernilai 2, maka hasilnya (dilambangkan dengan A) bernilai 5.
- Demikian pula jika kita bekerja lebih keras sehingga nilai B menjadi 3, nilai A pun menjadi lebih besar, yakni 7.
- Dan sebaliknya, jika usaha kita kecil misalnya benilai 1, hasilnya pun akan kecil, yaitu 3.
Peran
Do’a Manusia dan Kehendak Allah (Faktor X)
Saya
pernah menyampaikan pandangan saya ini kepada seorang teman untuk dimintai
pendapatnya, sehingga muncul pertanyaan dari dia seperti ini: Jika takdir yang
tertulis dalam Lauhul Mahfuz dianalogikan seperti rumus-rumus atau
persamaan-persamaan, berarti Allah itu pasif dan tidak lagi mengurus alam
semesta ini secara aktif? Alam semesta ini layaknya sebuah mesin otomatis ya?
Lalu untuk apa kita berdo’a jika Allah tidak bisa mengubah ketetapannya
sendiri?
Dari
pertanyaan itu, saya pun menyempurnakan pemikiran saya yang tadi. Peran do’a
dan kehendak Allah dapat dianalogikan seperti persamaan seperti ini:
A=2B+1+X
Dengan
asumsi A sebagai hasil, B sebagai usaha, dan X sebagai kehendak Allah sendiri
atau kehendak-Nya berdasarkan do’a manusia. Jadi kesimpulannya, do’a
manusia dan sifat Allah Yang Maha Berkehendak juga berperan dalam menentukan
takdir. Orang-orang biasanya menyebutnya dengan Faktor X.
Takdir
adalah Pilihan dari Kesempatan (Choice of Chance)
Itu
adalah penggambaran bagaimana pilihan kita menentukan takdir yang akan kita
hadapi nantinya. Analogi tersebut menggambarkan bahwa segala sesuatunya memang
sudah ditentukan sejak awal, namun bagaimana nantinya akan sesuai dengan
pilihan kita sendiri. Coba lihat gambar di atas, jika saya naik motor, maka
saya dihadapkan dua pilihan yaitu lewat jalan raya atau lewat jalan kecil. Jika
saya memilih lewat jalan raya, maka saya tidak akan bertemu dengan teman lama,
melainkan akan dihadapkan ke dua pilihan selanjutnya. Namun tidak setiap
pilihan berujung pada akhir yang berbeda, bisa saja ada dua pilihan yang
berakhir pada hasil yang sama.
Kesimpulan
…Sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada
diri mereka…( Al-Qur’an surah Ar-Ra’d ayat 11)
Maka
dari itu, sesungguhnya Allah memberi kebebasan pada makhluk-Nya untuk memilih,
berusaha, dan berdoa. Namun semuanya itu tetap berjalan sesuai ketentuan Allah
yang tertulis dalam kitab Lauhul Mahfuz. Ketentuan yang dimaksud di sini
bukanlah sebuah kisah atau alur cerita, melainkan sebuah bahasa pemrograman
yang Allah ciptakan dengan variabel dan konstanta yang ada, atau mungkin
seperti rumus logika IF dalam Microsoft Excel.
Hmm…
betapa Allah sangat sayang kepada kita hambaNya… berusaha untuk selalu
berpositif thinking kepada Allah dan percaya bahwa janji Allah itu pasti akan
datang menjadikan kita kuat untuk menerima kenyataan yang terkadang tidak
sesuai dengan apa yang aku inginkan, tapi allah tau apa yang kita butuhkan. Saya
pikir tidak ada gunanya mencari tahu sesuatu yang belum terjadi, ikuti saja
takdir dan skenario Allah, itu adalah jalan terbaik menurutku. Nggak perlu juga
minta tolong setan untuk mencuri dengar kabar dari langit, atau berusaha
mengintip apa yang ada di lauhul mahfuz dengan cara apapun. Allah selalu sayang
kepada hambaNya yang mendekatkan diri kepadaNya.
Demikian
yang dapat saya paparkan. Kesalahan datang dari saya pribadi dan kebenaran datang
dari Allah. Wallahu a’lam :)