Sabtu, 29 September 2012

HUKUM MENGALAH dalam ISLAM


Menurut Syaikh Al-Utsaimin, dari sisi hukum, mengalah ada tiga macam: Tidak boleh (mamnu’), makruh atau mubah, dan mubah.
Yang pertama, mengalah yang terlarang adalah dalam masalah kewajiban syariat. Misalnya, jika kita memiliki air wudhu yang hanya cukup untuk seorang, sementara kita belum berwudhu, maka kita tidak boleh memberikan air tersebut kepada orang lain. Dalam hal ini, orang tersebut mesti bertayamum dan kita wajib berwudhu. Syaikh Al-Utsaimin menekankan, “Jadi, mengalah dalam kewajiban syariat adalah haram.”
Kedua, mengalah dalam hal-hal yang disukai adalah boleh, namun sebagian ulama memakruhkannya. Misalnya, saat kita berada pada shaf pertama shalat jama’ah lalu datang orang lain dan kita memberikan tempat kita kepada orang tersebut, maka ini hukumnya makruh. Para ulama mengatakan bahwa ini adalah perbuatan orang yang tidak menyukai kebaikan, dan berpaling dari kebaikan adalah makruh. Adapun jika orang yang datang tersebut adalah ayah kita, maka kita boleh mengalah kepadanya.
Dan ketiga, mengalah dalam selain masalah ibadah adalah boleh bahkan disukai. Misalnya, ketika kita punya makanan dan kita sedang lapar, lalu datang saudara kita yang juga lapar. Dalam hal ini, jika kita mengalah dengan memberikan makanan tersebut kepada saudara kita, maka ini adalah perbuatan terpuji. (Lihat; Syarh Riyadh Ash-Shalihin)
Secara umum, dalam masalah non-ibadah wajib, sesungguhnya mengalah adalah perbuatan yang positif, sangat terpuji, lagi mulia. Sebab, menyerahkan hak kepada orang lain atau membuat orang lain memiliki apa yang kita punya, adalah sesuatu yang berat untuk dilakukan. Ada pengorbanan dalam mengalah di mana tidak semua orang sanggup melakukannya
Ada lima macam mengalah dalam hal ini. Yang pertama, yaitu mengalah untuk menang. Mengalah jenis ini pernah dipraktikkan oleh panglima perang Khalid bin Al-Walid dalam perang Mu`tah. Khalid memutuskan pasukan kaum muslimin mundur dari medan perang karena melihat jumlah pasukan musuh yang jauh lebih banyak dan kuat, serta sangat kecil kemungkinan bisa mengalahkan mereka.
Yang kedua, yaitu mengalah karena mendahulukan orang lain. Ini adalah mengalah pada umumnya. Selain contoh sahabat Anshar di atas, ada contoh yang sangat bagus dalam hal ini. Disebutkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq, saat perang Yarmuk, Hudzaifah Al-Adawi mencari saudara sepupunya sambil membawa air minum. Ketika dia menemukan saudaranya yang terluka parah, dia berkata, “Aku beri engkau minum?” Saudaranya pun mengangguk.
Saat Hudzaifah hendak meminumkan air itu kepada saudaranya, terdengar suara orang mengaduh dan minta air. Saudara sepupu Hudzaifah pun mengisyaratkan agar air itu diberikan saja kepada orang yang mengaduh tersebut. Hudzaifah bergegas ke arah orang tersebut untuk memberikan minum. Ternyata orang tersebut adalah Hisyam bin Al-Ash. Ketika Hudzaifah hendak meminumkan Hisyam, mereka mendengar suara orang kehausan. Hisyam mengisyaratkan agar Hudzaifah memberikan air tersebut kepada orang itu. Hudzaifah pun segera menuju ke orang yang barusan dia dengar suaranya.
Namun, orang tersebut sudah meninggal. Hudzaifah pun kembali kepada Hisyam. Tetapi, Hisyam juga sudah meninggal. Lalu, Hudzaifah menuju ke arah saudara sepupunya, tetapi saudaranya juga sudah meninggal! Allahu Akbar, mereka meninggal karena saling mengalah kepada saudaranya.
Yang ketiga, adalah mengalah karena ada orang lain yang lebih baik. Ini adalah mengalahnya orang yang tahu diri, orang yang sadar akan kemampuan diri sendiri dan mengakui kelebihan orang lain. Hal ini pernah dilakukan oleh Umar bin Al-Khathab dan Abu Ubaidah yang mengalah kepada Abu Bakar. Waktu itu, Abu Bakar mempersilakan kaum muslimin untuk memilih salah satu antara Umar dan Abu Ubaidah sebagai khalifah. Akan tetapi, justru Umar dan Abu Ubaidah-lah yang membaiat Abu Bakar, yang kemudian diikuti oleh para sahabat yang lain –Radhiyallahu ‘Anhum–.
Yang keempat, adalah mengalah karena cinta. Hal ini sering dilakukan oleh orangtua yang mengalah kepada anaknya, atau seorang suami kepada istrinya atau sebaliknya, atau seorang anak (yang sudah dewasa) yang mengalah kepada orangtuanya. Terkadang, hal ini juga dilakukan seorang kakak kepada adiknya dan sebaliknya.
Dan kelima, adalah mengalah karena tidak mau ribut dan enggan cekcok dengan orang lain. Hal ini biasa dilakukan oleh orang yang sehat akalnya dan bisa mengendalikan diri, baik itu dalam soal debat kusir ataupun bertengkar dalam masalah sepele. Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُحِقٌّ بُنِيَ لَهُ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ .
“Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan padahal dia benar, akan dibangunkan rumah untuknya di tengah surga.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Anas bin Malik)
Lima jenis mengalah di atas adalah perbuatan mulia yang dikategorikan para ulama sebagai sesuatu yang utama dan disukai. Namun demikian, tidak semua sikap mengalah di luar kewajiban syariat adalah baik. Ada satu perbuatan mengalah dalam hal ini yang justru sangat tercela dan haram hukumnya. Ia adalah mengalah kepada musuh di negeri sendiri. Dalam hadits shahih disebutkan,
لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِى طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ .
“Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu salah seorang dari mereka di jalan, maka desaklah dia hingga di tempat yang tersempit.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Apabila mengalah kepada orang Yahudi dan Nasrani di jalan umum saja tidak boleh, bagaimana halnya dengan mengalah kepada orang-orang Yahudi Israel la’natullah ‘alaihim di bumi Palestina? Sungguh, tidak ada yang mengalah kepada penjajah biadab Yahudi Israel di bumi Palestina selain kaum pengecut dan mereka yang enggan mengikuti Sunnah.
Wallahu Ta’ala a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar